Gara-gara mau nulis soal kunjungan (ciyehh berasa pejabat dah kunjungan segala) ke Benteng Moraya, gw jadi penasaran sebenarnya apa yang terjadi di Tondano ini sampai dibikin benteng segala. Maklum, kemarin itu pas kesana macam berburu waktu karena sudah mau balik ke Kotamobagu dan sudah mau hujan juga.
Benteng Moraya ini terletak di sebelah utara pinggir danau Tondano. Tempat ini dulunya adalah pemukiman tua suku anak Tondano yang dalam bahasa daerah di sebut Minawanua. Di lokasi ini bahkan ditemukan Waruga atau kubur batu dan potongan-potongan kayu besar yang merupakan alat pertanian kala itu. Pemukiman Winawanua sudah ada dari abad ke 9 Masehi. Namun benteng dan pemukiman tua ini hancur saat Perang Tondano ketiga dan terbesar di tahun 1809.
Untuk tau lebih jelas soal Perang Tondano, monggo lihat di artikel ini (ringkasan), ini (dijabarin jadi 6 postingan), dan yang lengkap alias versi ebook disini.
Waktu itu sejujurnya benteng ini ga masuk dalam list gw, cuma karena masih ada waktu, tante gw nyaranin untuk kesini aja. Tante gw sih orangnya asik banget dalam hal jalan-jalan, jadi enak banget buat kami.
Sampai di Benteng ini sudah jam 3 sore kalo ga salah dan dalam kondisi hujan on off. Pas sampai depannya sih ingin hati berfoto ditulisan Benteng Moraya, apa daya orang-orang pada duduk santai. Ogah jadinya.
Pas masuk disambut dengan pilar dimasing-masing di kanan dan kiri. Disitu terukir tentang perjuangan saat Perang Tondano. Karena berburu dengan cuaca, ga sempat lagi baca-bacain. Kami cuma foto-foto dan langsung menuju ke menaranya.

Ada Doa Bapa Kami disalah satu sisi Menaranya
Dan ada kisah Perang Tondano lainnya di bagian-bagian lain temboknya.
Ngebayangin tempat ini di jaman dulu macam ada rasa ngeri sih. Gimana enggak? Kala itu tempat ini berlumuran darah para Walak yang melawan Kompeni Belanda.

Pose wajib
Lumayan ngos-ngosan juga buat sampai ke atas menaranya, paha sampai gemeteran. Haha. Untuk masuk ke benteng ini ga dikenain biaya, cuma pas kami mau naik tuh ada satu bapak yang ngomong kalau pas turun tolong kasih sumbangan seadanya. Yang ada kami semua saling pandang. Soalnya ga ada kotak atau petunjuk resmi bahwa ada pungutan seadanya. Pas turun akhirnya sepupu gw kasih sih 20 rebu.

Danau Tondano
Pemandangan dari atas yang sangat menyejukkan mata.
Ada satu pertanyaan besar yang membekas dibenak gw pas baca banner ini. Disitu ditulis bahwa pembangunan benteng ini menelan biaya sampai IDR 35 Miliar, apakah itu typo atau beneran gw ga tau. Cuma kalau sampai benar 35M.. Hmmm.. Apakah iya sampai menelan biaya sebesar itu. Bahkan dilanjutan kalimatnya, ditahun 2017 dan akan ditambahkan lagi 10M. Cuma penasaran sih, bagian mananya yang menelan dana sebesar itu. Kalau ada pembaca yang tau tolong tulis dikolom komen ya.
Waktu gw ma sodara gw ngebahas soal ini, Ibu-ibu disitu terlihat tidak senang dan langsung ngomog.. Ini kan belum selesai, nanti bakal banyak yang dibangun. Tapi kan tapi kan.. Itu tulisannya bilang kalau pembangunan sudah menelan biaya segitu. Artinya sudah dibangun kan.. Ahh sudahlah. Semoga sih cuma kesalahan yang ngetik bannernya aja ya. Dan kalau pun iya, semoga dana itu benar-benar terpakai untuk pembangunan benteng sehingga boleh jadi kebanggan bagi Tondano, dan Sulawesi Utara. Amin.

Berasa kurcaci ndud
bagian mana yang menelan biaya banyak? hmmm mungkin bagian amplop-amplop di bawah mejanya.. hehehe
LikeLike
Pilar-pilarnya bagus ya Py.
Yang masalah biaya itu, memang rasanya kok “fishy” gitu ya pembangunannya sampai 35M!! Bahkan mau ditambah 10M lagi.
LikeLike
Suka sama yg doa bapa kami, pas bener fotonya 🙂
LikeLike
Ukirannya bagus banget, pantas mahal.
LikeLike